Thursday, October 18, 2007

Dua kali lebaran, sekali ied

Kecapean, setelah begadang semalam suntuk mengantar keluarga mudik, akhirnya sampailah kami di rumah nenek jam 3.45 pagi. Setelah sahur di jalan, dan hanya sempat meminum segelas teh di rumah, saya pun langsung tertidur tak sadarkan diri. Sampai-sampai terbangun dan terkaget-kaget.., "wadooh..., jam 9 pagi..., belum shalat subuh lagi...". Langsunglah bergegas, berbenah, mandi, dan shalat subuh. Bercanda sejenak dengan saudara dan ponakan, tapi ternyata panggilan dunia maya terlalu kuat. Ya.., maklumlah semaleman nyetir... Langsunglah mimpi dilanjutkan sampai kembali tersadar jam 1 siang. Cukup.., akhirnya dengan kondisi badan yang belum fit dari bandung, kuangkat badan untuk bangkit dari kemalasan, dan memanfaatkan sisa ramadhan tahun ini. Sampai akhirnya bunyi "nguung...." yang menandakan buka tiba... Tanpa basa basi, gelaran di atas karpet langsung tersikat olehku dan keluarga semua...

Kamis malam. Keluarga besar dari pihak ibu telah sepakat sejak awal untuk lebaran pada keesokan harinya. Bukannya kami sekeluarga adalah penganut Muhammadiyah yang taat, ataupun tidak mengindahkan keputusan pemerintah, tetapi kami memang mengambil cara pengambilan 1 syawal dengan metoda hisab. Setelah shalat maghrib berjamaah, maka takbir-tahmid dikumandangkan.. Ya.., yang terdengar hanya takbir-tahmid kami. Dari layar kaca, tersaksikan sidang isbat yang dipimpin menteri agama dan memutuskan 1 syawal jatuh pada tanggal 13 Oktober. Di Pekalongan, sebagaimana kota2 lainnya, ada yang berlebaran tanggal 12 ataupun 13. Sedangkan di kauman memang lebih banyak yang mengambil pada tanggal 13 sehingga sepi dari takbir-tahmid. Oleh karena itu, hanya kamilah yang sibuk sendiri bertakbir, dan membagikan zakat fitrah kepada mustahiq di sekitaran kami.

Untuk ke beberapa kalinya saya merasakan dua kali lebaran. Tentunya dengan sekali shalat ied pada tanggal satu syawal, tetapi dengan suasana lebaran pasca ied yang ganda. Ketika ditanya "kapan lebarannya..?", tentu akan di jawab "lebarannya di tanggal satu syawal" ya.. karena sesungguhnya lebaran hanya sekali dalam setahun dan jatuh pada 1 syawal. Hari jumat, kami sekeluarga berangkat ke lapangan simpang lima untuk shalat id. Sempat terjebak kemacetan di pasar, sampailah juga di tujuan. Lapangan dipenuhi dengan jamaah yang mengikuti id dengan seksama sampai khutbah akhir. Khutbah ini mengambil tema pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, karena "Al-Islamu A'aaliin, wa lam yu'la A'laih" (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang melebihinya). Hari pertama, memang tidak terlalu ramai, belum bersilaturahmi karena menuggu lebaran kedua. Lebaran kedua, gantian keluarga dari pihak bapak. Bedanya, kita datang ketika keluarga pulang sholat ied. Datang dan akhirnya makan bareng, bersilaturahmi dan bermaafan layaknya lebaran. Lebaran dua kali, semua senang. Pihak keluarga besar dari ibu dan bapak sama2 senang dihadiri oleh kami saat makan bareng. Berkah kali ya... lebaran ganda di satu kampung.

********

Mengamati perbedaan dalam mengambil hari 1 syawal di beberapa belahan dunia dan oleh Organisasi Massa Islam, tentunya akan menjadi pertanyaan besar. Mengapa harus terjadi perbedaan yang memperlihatkan "kekurangkompak-an" umat?. Ketakutan besar, bahwa orang awam akan menganggap ini sebagai perpercahan (naudzubillah), meskipun kelebihan akan didapat, saat perbedaan ini dijadikan rahmat dan toleransi diantara umat. Nah pertanyaanya apakah bungkusan manis toleransi dan rahmat dijadikan tameng akan perbedaan yang terdapat di tubuh kita.

Ketika kita berbicara perbedaan dalam masalah fikih, atau pun sesuatu yang furu' (cabang) ya boleh lah.. selama hal tersebut tidak menjadi sumber perpecahan. Karena, (setau saya) terdapat dua kriteria dalam hukum, yaitu pasti dan tidak pasti. Ketika ada permasalahan yang tidak pasti, seperti hukum bersuci dari junub sedangkan tidak terdapat air, maka pintu ijtihad sangat terbuka lebar. Tentunya dari sini, kemudian terdapat perbedaan pengambilan hukum yang bersumber dari Al-quran dan hadits, yang paling gampang ditandai dengan adanya 5 madzhab fikih besar yang dipakai oleh umat muslim di dunia.

Sekarang, bila kita merefleksikan kembali akan arti penting hari idul fitri, atau paling gampang kalender hijriyah kita.., gimana dong..?, ini kan punya umat islam secara keseluruhan. Artinya diperlukan kesamaan dan kesatuan, bukan masalah perbedaan adalah rahmat, akan tetapi seharusnya toleransi diwujudkan dengan penyamaan dan penyatuan kriteria dalam ijtihad umat menentukan kalender hijriyah. Bukankah, metode hisab dan hilal juga merupakan bentuk ijtihad umat dalam menentukan penanggalan hijriyah. Maka, akan lebih baik jika ijtihad tersebut dapat menjadikan perekat akan hubungan umat islam.

Sesungguhnya saat ini umat islam dalam keadaan limbung, terutama dalam mengartikan ukhuwah terlebih kesatuan umat. Jika ditanya akan visi umat islam kedepan untuk membangun peradaban, tetapi kesatuan dalam mengambil sikap termudah (kalender hijriyah) saja sulit.. wah.., gak tega membayangkannya. Sungguh, suatu cita2 besar, yang insyaAllah sedang dalam proses perwujudan melalui gerakan2 islam, untuk membangun suatu peradaban Islam yang terpayungi kuat. Oleh karena itu, benar2 diharapkan dan harus diusahakan agar punggawa2 utama organisasi massa islam atau gerakan dakwah dapat mendahulukan kepentingan umat islam secara menyeluruh, saling menghargai, betoleransi, dan membangkitkan kembali umat islam.

Dan, saya sebagai orang awam, pinginnya ikut serta dalam proses itu, minimal dalam menyerukan pentingnya ukhuwah dan tidak terjebak akan perbedaan2 yang ditakutkan akan memecahkan barisan Islam. Maka, persiapkan diri kita dengan ilmu, berbuat dan memosisikan sebagai solusi bukan masalah diantara perbedaan yang terjadi di tubuh umat.





No comments: